Bab 1

Bersumpah sehidup semati untuk menumpas pemberontakan Serban Kuning

----------

Halaman 1

 

Alkisah pada pertengahan abad kedua, negara Cina berada dalam kekalutan. Kaisar yang berkuasa hanya bisa bertindak kejam, sewenang-wenang, dan menindas rakyat. Begitulah keadaan negara Cina menjelang berakhirnya kejayaan Dinasti Han yang agung, setelah berkuasa dari tahun 206 SM hingga 220 masehi. Ketika itu tampuk pemerintahan dipegang oleh Kaisar Huan, yang setelah wafat digantikan oleh Kaisar Ling.

 

 

Kaisar Huan acuh tak acuh terhadap orang-orang pandai dan jujur. Ia hanya menaruh kepercayaan kepada para kasim. (Kasim / Thay Kam adalah orang kebiri. Tugasnya melayani kaisar. Mereka bebas keluar masuk istana, bahkan sampai ke bagian yang paling dalam. Hak ini diperoleh karena telah dikebiri sehingga tidak mungkin terjadi skandal seks. Pada zaman dahulu di Cina kebiri adalah sejenis hukuman yang dipandang amat hina. Biasanya orang yang dijatuhi hukum kebiri lebih suka memilih hukum mati).

 

 

Keadaan semakin memburuk setelah Pangeran Ling menggantikannya. Ia hanya percaya kepada 2 orang, yaitu Dou Wu dan Chen Fan. Dou Wu adalah seorang perwira tinggi, dan Chen Fan adalah seorang guru besar. Kedua orang ini sangat muak melihat ulah para kasim, dan berusaha menyingkirkan mereka. Pada waktu itu orang kebiri Cao Jie amat berkuasa. Rencana Dou Wu dan Chen Fan untuk menggulingkannya terbongkar, sehingga sebaliknya keduanya mati terbunuh. Sejak saat itu ulah para kasim semakin menjadi-jadi.

Tanggal 15 bulan 4 tahun kedua penanggalan Imlek (kira-kira tahun 186 Masehi), Kaisar Ling akan mengadakan pertemuan di Balai Wen De. Ketika Kaisar memasuki ruangan, sebelum Baginda tiba di kursi singgasana,

----------

Halaman 2

 

tiba-tiba dari arah sudut ruangan bertiup embusan angin kencang. Dari atas wuwungan meluncur seekor ular besar berwarna hijau, dan melingkar di atas kursi singgasana. Baginda kaget, dan pingsan. Para pengiring bergegas membawanya ke ruang utama istana. Hadirin pun menjadi panik, lari pontang panting menyelamatkan diri. Dan anehnya ular jadi-jadian itu pun lenyap seketika.

Tiba-tiba terjadi lagi malapetaka guntur dan badai, yang disertai hujan angin yang lebat. Tengah malam keadaan baru mereda. Malapetaka ini menghancurkan rumah-rumah penduduk, tidak terhitung jumlahnya.

Dua tahun kemudian, gempa bumi melanda kota Loyang (sekarang Propinsi Henan). Gelombang pasang yang besar menggulung semua penghuni pesisir ke tengah laut.

Semua itu merupakan pertanda buruk bagi negara. 10 tahun kemudian, setelah pergantian kaisar, timbul bencana lain.

Ayam - ayam betina berubah sikap seperti ayam jantan. Keajaiban ini dikaitkan dengan campur tangan para kasim dalam urusan negara.

 

 

Pada tanggal 1 bulan 6 penanggalan Imlek, seuntai asap hitam sepanjang 10 kaki memenuhi Balai Wen De. Pada bulan berikutnya terlihat pelangi di dalam Aula Giok Istana.

Jauh terpisah dari ibukota, sebuah gunung amblas ke perut bumi, meninggalkan lubang besar yang dalam.

 

Semua alamat buruk itu membuat Kaisar amat prihatin. Baginda memerintahkan bawahannya menanyakan sebab-sebab bencana kepada para pejabat. Penjelasan akan makna pertanda buruk itu dibuat oleh seorang menteri yang bernama Cai Yong. Ia dengan ketus mengatakan bahwa hujan serangga dan perubahan sikap ayam betina adalah pertanda buruk karena campur tangan para kasim dalam urusan negara.

Mendengar penjelasan ini Kaisar menarik napas panjang. Baginda tidak berdaya. Cao Jie yang berdiri di belakang singgasana mencatat semua kedukaan Kaisar dengan rasa ingin tahu. Suatu ketika ia mencuri baca dokumen, lalu memberitahukan isinya kepada rekan-rekannya. Tidak lama kemudian pembuat dokumen difitnah, dan diusir dari istana. Cai Yong dihukum, meninggalkan Loyang pulang ke kampung halamannya.

Kemenangan ini membuat para kasim semakin berani. 10 diantara mereka berlomba serta berkomplot dalam melakukan kejahatan dan kedurjanaan. Mereka membentuk kelompok berkuasa yang

----------

Halaman 3

 

dikenal dengan sebutan "Sepuluh Orang Kebiri".

"10 orang kebiri" : Zhang Rang (berpakaian hitam), Zhao Zhong, Feng Xu, Duan Gui, Cao Jie, Hou Lan, Jian Shuo, Cheng Kuang, Xia Yun dan Guo Sheng

 

Salah seorang diantaranya bernama Zhang Rang. Ia merupakan penasihat yang paling dipercaya dan dihomati Kaisar. Kaisar memanggilnya "A Fu" atau ayah.

 

Keadaan pemerintahan semakin memburuk, sehingga negara menjadi kacau, dan dimana-mana timbul pemberontakan dan perampokan.

Pada masa itu, di Prefektur Julu ada 3 orang bersaudara marga Zhang yang terdiri dari Zhang Jiao, Zhang Bao, dan Zhang Liang.

 

Yang tertua Zhang Jiao adalah seorang terpelajar tanpa gelar, yang berkecimpung di bidang pengobatan.

 

Suatu hari ketika ia sedang mencari ramuan obat-obatan di hutan, ia bertemu seorang tua berpenampilan agung, dan memiliki sorot mata yang amat tajam. Wajahnya segar. Orang tua bertongkat itu mengajak Zhang Jiao ke sebuah gua, dan di sana memberikan 3 jilid "Buku Langit" kepadanya.

 

"Buku ini," ujarnya,"adalah jalan kedamaian. Dengan bantuan 3 jilid buku ini kau dapat mengubah dunia dan menyelamatkan umat manusia. Tetapi jiwamu harus bersih dan bila tidak kau amalkan, kau akan menderita." Sambil berlutut, Zhang Jiao menerima buku itu dan menanyakan nama orang tua berbudi itu. "Aku adalah Dewa Bumi Kemenangan dari Selatan," tuturnya kemudian lenyap dalam sekejap.

 

Setelah menerima buku itu, Zhang Jiao dengan tekun mempelajarinya siang malam. Tidak lama kemudian ia dapat memanggil angin dan menghentikan hujan, sehingga menjadi terkenal dengan gelar "Orang Gaib Jalan Perdamaian".

 

Waktu pemerintahan telah berganti, suatu wabah penyakit yang amat menakutkan melanda negeri. Dalam waktu singkat musibah ini menyebar ke seluruh pelosok negeri. Zhang Jiao membagikan obat kepada para penderita, dan sejak saat itu ia mendapat gelar "Guru Berbudi yang Bijaksana".

 

Ia memiliki murid lebih dari 500 orang, yang menyebar ke segala pelosok negeri. Seperti gurunya, mereka pun dapat membuat jimat dan membaca mantra. Ketenaran mereka semakin menambah pengikut bagi sang guru.

 

Zhang Jiao kemudian mengelompokkan mereka ke dalam 36 formasi besar dan formasi kecil. Formasi besar terdiri atas 10.000 orang, sedang formasi kecil terdiri atas 6.000 - 7.000 orang. Setiap formasi dikepalai oleh seorang murid dengan pangkat jenderal. Dengan lagak yang sombong mereka bicara tentang keruntuhan penguasa pada waktu itu dan akan digantikan oleh

----------

Halaman 4

 

golongan mereka. Mereka katakan pula bahwa perkembangan baru akan dimulai, membawa perbaikan bagi alam semesta. Rakyat dibujuk untuk memberi tanda "lingkaran" pada pintu utama rumah mereka. Dan rakyat di 8 distrik memuja Zhang Jiao.

 

 

Hal ini menimbulkan ambisi "Guru Berbudi dan Bijaksana" untuk berkuasa. Ia memimpikan suatu kerajaan. Salah seorang pengikutnya, bernama Ma Guanyi, diutus membawa upeti ke istana untuk memperoleh dukungan para kasim sebagai sekutu. Zhang Jiao berkata kepada adiknya, "Yang paling sukar diperoleh adalah dukungan rakyat. Saat ini kita telah memperoleh dukungan mereka. Inilah saat yang paling tepat untuk merebut kekuasaaan. Jangan kita sia-siakan". Kemudian persiapan-persiapan pun mulai dilakukan. Bendera kuning dibuat sebanyak-banyaknya. Hari-H ditentukan.

Di samping itu, ia mengutus Tang Zhou mengantarkan sepucuk surat kepada kasim kepala Feng Xu. Malang, Tang Zhou berkhianat dan membocorkan rahasia komplotan itu. Kaisar memerintahkan jenderal kepercayaannya, He Jin, untuk menyelidiki kebenaran laporan tersebut. Ma Guanyi ditangkap lalu dihukum mati.

Setelah rencananya terbongkar, Zhang bersaudara memutuskan untuk mempercepat Hari-H.

 

Zhang Jiao menyebut diri sebagai Jenderal Tian Gong atau Pangeran Langit,

 

Zhang Bao menyebut diri sebagai Jenderal Di Gong atau Pangeran Bumi, dan

 

Zhang Liang menyebut diri sebagai Jenderal Ren Gong atau Pangeran Manusia.

 

Disamping menyandang gelar, mereka mencanangkan juga seruan bagi rakyat: "Bangsa Han sudah lemah. Orang bijaksana telah muncul. Taati perintah Tian (langit). Hai, rakyat, berjalanlah pada jalan kebenaran, kau akan mendapat kedamaian".

 

Sementara itu, pengikutnya pun makin banyak. Dari segala pelosok rakyat berdatangan dengan memakai serban kuning, bergabung dengan gerombolan Zhang Jiao.

 

Kekuatan gerombolan mencapai 500.000 orang. Demikian besar, sehingga serdadu kerajaan selalu menyingkir bila mendengar kedatangan mereka.

 

He Jin segera menerima perintah untuk menumpas kaum pemberontak.

 

Pengumuman wajib militer dikeluarkan. Ia juga memerintahkan Lu Zhi, Huang Fusong, dan Zhu Jian melawan kaum pemberontak dari 3 jurusan.

Zhang Jiao membawa pasukannya ke Yu Zhou, daerah di sebelah utara. Kepala daerah itu bernama Liu Yan, bermarga Liu, keturunan

----------

Halaman 5

 

Pangeran Gong dari Jing Ling. Ketika serangan datang, ia memanggil bawahannya yang bernama Zou Jing. Zou berkata,"Mereka berjumlah banyak, sedangkan kita amat sedikit. Paduka harus mempunyai pasukan yang lebih besar untuk melawan mereka".

Pendapat Zou Jing disetujui kepala daerah, yang kemudian mengeluarkan pengumuman memanggil rakyat untuk menjadi sukarelawan. Salah satu pengumunan itu dipasang di distrik Zhuo, tempat tinggal salah seorang tokoh yang akan banyak berperan dalam kisah sejarah ini.

Orang ini bukan seorang sastrawan, bukan pula kutu buku. Ia hanyalah seorang polos yang tidak suka banyak bicara. Raut mukanya tenang, menyembunyikan berbagai perasaan hatinya. Dan dibalik ketenangan itu ia menyimpan sebuah cita-cita akbar. Ia amat senang bersahabat dengan orang-orang terkenal. Tubuhnya tinggi dan tegap. Daun telinganya panjang hingga ke bahu. Tangannya pun panjang hingga melampaui lutut. Matanya panjang sehingga ia dapat melihat ke belakang tanpa menengok. Wajahnya putih bagaikan warna batu giok. Bibirnya merah. Ia keturunan pangeran. Bapaknya cucu Kaisar Jing (bertahta di singgasana Naga selama satu setengah abad sebelum Masehi).

 

Ia bernama Liu Bei, atau lengkapnya Liu Xuande.

 

Beberapa tahun yang lalu seorang bangsawan yang menjadi leluhurnya tinggal di distrik itu. Tetapi karena ia tak cukup memberi uang suap, maka ia kehilangan jabatannya. Keluarga itu tetap menetap di distrik Zhuo, tetapi lama kelamaan hidup dalam kemiskinan. Ayahnya, Liu Hong, adalah seorang sarjana yang menjadi pejabat pemerintahan, tetapi meninggal pada muda usia. Ibunya terpaksa membesarkannya seorang diri.

 

Untunglah, Liu Bei adalah seorang anak yang berbakti. Walaupun hidup dalam kemiskinan, Liu Bei membantu ibunya mencari nafkah dengan menganyam sandal dan tikar dari rumput kering.

 

Rumah mereka terletak di sebuah desa di dekat ibukota distrik. Di halaman sebelah tenggara terdapat sebatang pohon murbei besar setinggi 5 kaki. Dari jauh, lekuk dahannya tampak seperti sebuah kereta. Berdasarkan tanda tersebut seorang peramal mengatakan bahwa kelak seorang berpangkat akan muncul dari keluarga itu.

Ketika masih kanak-kanak Xuande dan anak-anak dari desa lain sering bermain di bawah pohon ini. Xuande akan memanjat pohon itu, dan mengatakan bahwa ia adalah kaisar yang sedang menunggang kuda. Menyadari bahwa ia bukan anak sembarangan, pamannya selalu

----------

Halaman 6

 

memperhatikan segala kebutuhan keluarga itu.

Ketika Liu Xuande berusia 15 tahun, ibunya menyuruhnya mengembara untuk mendapatkan pendidikan. Selama beberapa waktu ia berguru kepada Zheng Xuan dan Lu Zhi, serta bersahabat karib dengan Gongsun Chan.

Ketika terjadi pemberontakan dan panggilan wajib militer, Liu Xuande berusia 28 tahun. Berkali-kali ia menghela napas bersedih membaca pengumuman itu.

 

 

Tiba-tiba suatu suara yang angker dan mengguntur terdengar di belakangnya,"Tuan yang mulia, mengapa Tuan hanya menarik napas tanpa berbuat sesuatu untuk negara?" Dengan cepat ia berpaling, dan terlihatlah seseorang setinggi badannya. Kepalanya bulat seperti peluru. Matanya besar bagaikan mata macan tutul. Dahinya menonjol dan berjanggut lebat. Ketika berkata, suaranya besar dan bergema. Ia terlihat gelisah bagai kuda binal. Sekilas Xuande tahu bahwa ia bukanlah orang sembarangan, lalu menanyakan nama orang tersebut.

 

"Aku she (marga) Zhang, bernama Fei, dan biasa dipanggil Yi De," jawabnya.

 

"Aku tinggal di dekat sini tempat aku bertani. Di samping itu aku pun menjual arak, dan seorang jagal. Aku senang berkenalan dengan para ksatria, dan tarikan napas Anda membuat aku tertarik".

Xuande menjawab,"Aku keturunan kaisar, bermarga Liu. Namaku Bei. Bagaimana mungkin aku seorang diri menumpas pemberontakan dan memulihkan keamanan? Sayang sekali aku tidak berdaya".

"Aku memiliki sedikit modal," kata Fei. "Bagaimana kalau kita mengumpulkan orang dan berusaha semampu kita?"

Hati Xuande gembira mendengar jawaban ini, dan keduanya pun bersama-sama menuju kedai arak di desa untuk membicarakan rencana mereka. Sedang mereka minum, seorang tinggi besar muncul mendorong gerobak di jalan, berhenti di depan kedai, lalu masuk untuk beristirahat dan minum arak. "Cepat sedikit," ujarnya, "Aku sedang bergegas ke kota untuk mendaftarkan diri menjadi serdadu."

Xuande mengamati pendatang itu dengan cermat. Mengagumi bentuk tubuhnya yang tinggi kekar. Janggutnya lebat. Raut mukanya berwarna merah gelap. Bibirnya merah tua. Matanya bagaikan mata burung hong. Alisnya lebat rapi bagaikan ulat sutra. Seluruh penampilannya agung dan mempesonakan. Akhirnya Xuande mengundangnya duduk bergabung dengannya dan menanyakan namanya.

 

"Aku Guan Gong," ia berkata,"biasa dikenal sebagai 'Shou Chang' (Si Abadi), tetapi kini aku biasa dipangggil Yun Chang (Awan Panjang).

----------

Halaman 7

 

Aku penduduk dari sebelah timur sungai, tetapi menjadi buron selama 5 tahun di pesisir karena menbunuh seorang bajingan yang bertindak sewenang-wenang. Aku datang untuk menjadi serdadu."

Xuande menceritakan pula rencananya, dan disambut dengan gembira oleh Guan Gong. Bertiga mereka pergi menuju ke pertanian Zhang Fei untuk membicarakan persiapan rencana besar mereka.

 

 

 

 

Zhang Fei berkata,"Pohon persik (=buah lay) di kebun belakang rumah sedang lebat berbunga. Besok kita akan mengadakan upacara disana, kita ikrarkan tujuan kita kepada langit dan bumi. Kita bertiga akan meminum arak yang bercampur darah kita masing-masing, dan bersumpah menjadi saudara, serta menyatukan tujuan dan perasaan untuk memikul tugas kita yang akbar." Xuande dan Guan Gong menyetujui usul tersebut.

 

Keesokan harinya mereka menyiapkan upacara persembahan yang terdiri atas seekor sapi jantan hitam, seekor kuda putih, dan arak.

 

Di balik asap hio yang mengepul di atas altar mereka berlutut, menundukkan kepala, dan mengucapkan sumpah,"Kami bertiga, Liu Bei, Guan Gong, dan Zhang Fei, meskipun dari keluarga berbeda, bersumpah menjadi saudara, dan berjanji akan saling menolong sampai akhir hayat kami. Kami akan saling menolong bila berada dalam kesusahan. Kami akan saling menyelamatkan bila berada dalam bahaya. Kami bersumpah untuk mengabdi negara dan bangsa. Kami tidak memohon untuk lahir bersama, tetapi kami berusaha untuk mati bersama-sama. Semoga langit, semua dewa, dan bumi, serta semua tempat kesuburan, mendengar janji kami. Apabila kami menyimpang dari kebenaran atau lupa pada kebajikan, semoga langit dan seluruh umat manusia mengutuk kami!"

 

Selesai sembahyang, Guan Gong dan Zhang Fei bersoja di hadapan Xuande yang diangkat sebagai saudara tertua. Dan Zhang Fei menjadi yang bungsu dari antara mereka.

Setelah upacara khidmat ini selesai dilakukan, mereka menyembelih seekor sapi jantan lain dan berpesta bersama-sama penduduk desa. 300 orang bergabung bersama, berpesta hingga mabuk di kebun persik.

Keesokan harinya senjata-senjata dibersihkan, tetapi mereka belum mempunyai kuda tunggangan. Dan ketika mereka sedang bersedih memikirkannya, datanglah 2 orang pedagang kuda yang membawa sekawanan kuda memasuki halaman pertanian.

"Ternyata, langit membantu kita," kata Xuande. Ketiga bersaudara itu keluar menyambut saudagar kuda. Mereka berasal dari Zhong

----------

Halaman 8

 

Shan, seorang bernama Zhang Shiping, dan seorang lagi bernama Su Shuang. Setiap tahun berkelana ke utara memasarkan kuda, tetapi tahun ini terpaksa kembali karena meletusnya pemberontakan.

Xuande mengundang mereka ke pertanian. Setelah arak dihidangkan, ia menceritakan rencana perjuangan demi ketertiban dan keamanan. Kedua pedagang kuda itu amat gembira, serta memberi mereka 50 ekor kuda terbaik, disamping itu juga emas, perak, dan 1000 kati baja untuk dijadikan senjata. (1 Kg = 16 kati)

Setelah saudagar-saudagar itu melanjutkan perjalanan, tukang besi dipanggil untuk membuat senjata.

Xuande memesan sebilah pedang ganda.

 

Guan Gong menyukai golok lengkung bergagang panjang yang disebut "Naga Hitam" atau "Si Cantik Dingin", dengan berat mencapai 100 kati. Zhang Fei memilih sebatang toya sepanjang 18 kaki. Masing-masing juga memesan helm dan baju besi. (1 kaki +/- 30 Cm)

 

 

Pada waktu segala persiapan selesai dilakukan, mereka berhasil membentuk suatu pasukan yang berkekuatan 500 orang, berbaris menghadap Zou Jing. Zou Jing membawa mereka menghadap Liu Yan. Setelah upacara perkenalan selesai, Xuande menceritakan leluhurnya, dan Yan amat gembira karena ternyata mereka satu kerabat.

Tidak lama kemudian datang berita bahwa para pemberontak menyerbu distrik itu di bawah pimpinan Cheng Yuanzhi, yang membawahi 500.000 orang pasukan. Liu Yan memerintahkan Zou Jing dan ketiga ksatria itu pergi melawan serangan musuh. Xuande dengan gembira memimpin pasukannya maju ke kaki bukit Daxing dan bertemu dengan pasukan musuh.

 

Rambut kaum pemberontak gondrong tergerai ke bahu. Di kepala mereka terikat serban kuning.

 

Kedua pasukan berhadapan siap menyerbu yang lainnya. Xuande diapit kedua saudaranya melecutkan cambuk memacu kuda menyerbu, sambil berteriak menganjurkan agar para pemberontak menyerah. Pemimpin pemberontak dengan marah mengutus seorang yang bernama Deng Mou untuk maju menyambut serangan.

 

Zhang Fei segera memacu kudanya menyongsong dengan tombak panjangnya siap untuk ditusukkan ke tubuh lawan. Dengan satu gebrakan saja, Deng Mou terguling dari kuda. Tombak tertancap di jantungnya.

 

Melihat bawahannya tewas, Cheng Yuanzhu memcambuk kudanya maju hendak membunuh Zhang Fei sambil memutar-mutar golok.

----------

Halaman 9

 

Tetapi Guan Gong menghadang sambil memutarkan senjatanya. Melihat wajah Guan Gong, Cheng gentar, dan sebelum pulih semangatnya, pedang besar itu telah membelah tubuhnya.

 

Melihat pemimpin mereka gugur, para pemberontak melemparkan senjata, lalu melarikan diri. Serdadu kerajaan mengejar mereka. Ribuan orang menyerah, dan Xuande memperoleh kemenangan mutlak. Kedatangan mereka disambut langsung oleh Liu Yan, dan mereka semua mendapat hadiah.

Keesokan harinya, datang sepucuk surat dari wilayah Qing Zhou. Dinyatakan bahwa para pemberontak telah mengepung pusat kota, dan penduduk terjebak di tengah. Mereka sangat membutuhkan pertolongan.

"Biarkan aku saja yang pergi," kata Liu Bei setelah ia mendiskusikan itu dengan Liu Yan. Ia segera berangkat bersama pasukan yang diperkuat dengan pasukan besar di bawah pimpinan Zou Jing. Para pemberontak melihat bala bantuan datang, mengatur strategi, lalu menyerang dengan gencar. Jumlah bantuan masih terlalu kecil untuk bisa mengimbangi kekuatan musuh, maka terpaksa mundur sejauh 30 li (1 li = > 600 m) untuk beristirahat, dan membangun kubu pertahanan.

 

"Jumlah mereka banyak sedangkan jumlah kita hanya sedikit," kata Liu Bei kepada adik-adiknya. "Kita hanya dapat mengalahkan mereka dengan taktik perang yang lebih unggul."

 

Mereka lalu menyiapkan perangkap. Kedua adiknya memimpin 1.000 orang pasukan pilihan menuju ke belakang bukit, dan bersembunyi di sebelah kiri dan sebelah kanan. Apabila mereka mendengar bunyi genderang, mereka harus bergerak membantu pasukan inti.

 

Setelah segala persiapan selesai dilakukan, Liu Bei dan Liu Yan memimpin pasukan menyerbu. Tetapi ketika pasukan pemberontak maju menyambut serangan, Liu Bei malah melarikan diri. Pasukan pemberontak mengira bahwa mereka ketakutan, segera mengejar hingga ke atas bukit.

 

Tiba-tiba genderang dibunyikan, Guan Gong dan Zhang Fei menyergap dari kedua sisi bukit, sedangkan pasukan Liu Bei membalikkan badan mereka. Para pemberontak diserang dari 3 arah. Mereka mengalami kekalahan besar, lalu melarikan diri ke kota propinsi. Bupati memimpin pasukan dan sukarelawan mengejar para pemberontak. Kemenangan ini membebaskan Qing Zhou dari kepungan kaum pemberontak.

----------

Halaman 10

 

Setelah pesta kemenangan selesai dilaksanakan, Zou Jing mengusulkan pasukan kembali melapor kepada Liu Yan tetapi Liu Bei lebih suka pergi membantu gurunya Lu Zhi. Ia mendengar kabar bahwa Lu Zhi sedang bertempur melawan Zhang Jiao di Guangzong.

 

Lu Zhi

 

Mereka lalu berpisah, dan ketiga bersaudara itu menuju Guangzong bersama 500 pasukan. Setiba di sana, mereka langsung menemui bupati di dalam kubu pertahanan, dan menjelaskan maksud kedatangan mereka.

Tentu saja kedatangan mereka disambut dengan gembira, dan bupati bersedia mendengarkan strategi perang yang mereka rencanakan.

Pada waktu itu, perbandingan kekuatan antara  pasukan kerajaan dengan para pemberontak adalah 1 : 3. Kedua pasukan sudah berhadap-hadapan, tetapi belum ada pemenang. Bupati berkata kepada Liu Bei,"Aku mengepung para pemberontak di sini, tetapi dua bersaudara Zhang Liang dan Zhang Bao mengepung ketat Huang Fusong dan Zhu Jiao. Aku akan memberi Anda 1.000 orang lebih, dan dengan pasukan ini Anda dapat menyelidiki situasi di sana, serta menentukan saat penyerangan."

Liu Bei mengatur barisannya dan berangkat secepat mungkin. Pada waktu itu ternyata pasukan kerajaan di bawah pimpinan Zhu Jiao berhasil memperoleh kemenangan. Pemberontak mundur ke Chang She, dan bersembunyi di tengah-tengah padang rumput yang lebat. Melihat keadaan ini, Zhu Jiao memutuskan untuk menyerang dengan menggunakan api. Ia memerintahkan agar setiap orang memotong serumpun rumput kering, dan menyiapkan perangkap.

 

Malam itu, tiba-tiba angin bertiup kencang. Ketika pergantian regu jaga yang kedua, mereka mulai menyalakan obor. Dan dalam waktu yang bersamaan mereka menyerbu, membakar tenda-tenda pemberontak.

 

Api menjulang ke angkasa. Para pemberontak menjadi panik, tidak sempat memasang pelana kuda dan memakai baju perang, lari pontang panting ke segala penjuru.

 

Pertempuran berlangsung hingga pagi. Zhang Liang dan Zhang Bao melarikan diri diiringi beberapa orang serdadu. Tiba-tiba sepasukan serdadu dengan panji merah menghadang mereka. Pemimpinnya adalah seorang dengan perawakan sedang, bermata kecil, dan berjanggut panjang.

 

Ia adalah Zao Cao, dikenal juga dengan nama Mengde, seorang yang berasal dari Pu Guo berpangkat komandan pasukan berkuda. Bapaknya bernama Zao Song, lahir dari keluarga

----------

Halaman 11

 

Xiahou, tetapi karena ia dibesarkan oleh kasim Cao Teng, maka memakai marga Zao. Zao Cao ini adalah anak dari Song, ketika masih kecil bernama A Man alias Ji Li.

Sejak remaja Zao Cao gemar berburu, menari, dan menyanyi. Ia adalah seorang yang licik dan penuh tipu daya. Seorang pamannya, melihat pemuda itu begitu binal, sering memaki-makinya, tetapi ia selalu dibela oleh ayahnya.

Sikap itu membuat ulah pemuda itu semakin menjadi-jadi. Pada suatu hari, melihat pamannya datang, ia berpura-pura pingsan. Paman itu amat terkejut dan berlari memberitahukan kepada ayahnya. Ayahnya segera datang, tetapi ternyata anaknya tidak apa-apa.

"Kata pamanmu kau pingsan. Apakah kau tidak apa-apa?"

"Aku tidak sakit atau pingsan," kata Zao Cao. "Tetapi aku kehilangan kasih sayang Paman, dan ia membohongi Ayah."

Sejak itu, apa pun yang dikatakan pamannya tentang kesalahannya, ayahnya tidak pernah mau mengubris. Anak muda itu tumbuh semakin binal dan tidak terkendalikan.

 

Ada seseorang pada zaman itu yang berkata kepada Zao Cao,"Saat ini negara sedang dilanda kekacauan. Hanya orang yang mempunyai kemampuan besar yang dapat memulihkan keamanan. Dan Andalah orangnya."

Seorang yang berasal dari Nan Yang, bernama He Yong, berkata kepadanya,"Dinasti Han akan runtuh. Hanya Anda orang yang dapat memulihkan keadaan. Hanya Anda."

Zao Cao melanjutkan usaha untuk mengetahui nasibnya pada seorang pandai dari Ru Nan, bernama Xu Zhao.

"Siapakah aku ini?" tanya Zao. Si Peramal tidak menjawab sehingga Zao Cao harus mengulang pertanyaannya. Barulah ia menjawab,"Anda mampu memerintah dunia, tetapi cukup jahat untuk mengacaukannya."

Zao Cao sungguh gembira mendengar jawaban ini.

Ia lulus ujian dalam usia 20 tahun dan memulai karirnya sebagai komandan distrik Loyang bagian utara.

 

Pada empat pintu gerbang kota tempat ia berkuasa, ia menggantungkan beraneka bentuk gada, dan segala hukum terhadap setiap pelanggaran, tanpa mempedulikan pangkat dan jabatan si pelanggar.

Pernah paman seorang kasim berjalan pada malam hari di jalan raya sambil membawa pedang. Ia ditangkap, dan dihukum dera. Sejak saat itu tidak ada yang berani melakukan pelanggaran, dan nama Zao Cao

----------

Halaman 12

 

amat ditakuti oleh semua penduduk, tak terbatas di wilayah kekuasaannya. Tidak lama kemudian ia diangkat menjadi hakim.

Ketika terjadi pemberontakan, ia diangkat menjadi komandan pasukan berkuda, memimpin 5.000 pasukan infanteri dan kavaleri, untuk membantu memadamkan pemberontakan di Ying Chuan. Ia kebetulan berhadapan dengan pasukan pemberontak yang mundur setelah menderita kekalahan, dan membantainya sampai punah. Ribuan orang yang dibunuh, dan bermacam-macam panji, tambur, serta kuda dirampas. Belum terhitung lagi uang. Sayang, kedua pemimpinnya - Zhang Liang dan Zhang Bao - berhasil lolos. Setelah mendapat keterangan dari Huang Fusong dan Zhu Jiao, Zao Cao segera mengejar mereka.

Kita kembali menengok Liu Bei. Mendengar jeritan peperangan dan melihat api menjulang tinggi ke angkasa, ia bersama kedua saudaranya bergegas menuju daerah pertempuran. Tetapi mereka datang terlambat, pertempuran telah selesai. Mereka menghadap Huang Fusong dan Zhu Jiao, serta menyampaikan pesan dari Lu Zhi.

 

Huang Fusong berkata,"Kekuatan para pemberontak di sini sudah dilumpuhkan, tetapi mereka pasti menuju Guangzong untuk bergabung dengan Zhang Liao. Tidak ada yang dapat Anda lakukan di sini, sebaiknya Anda besok kembali ke Guangzong membantu Lu Zhi."

 

Tiga bersaudara itu memimpin pasukannya kembali ke Guangzong. Di tengah perjalanan mereka berjumpa dengan serombongan serdadu mengawal seorang tahanan yang dikurung dalam kereta. Waktu mereka dekati, ternyata tahanan itu adalah Lu Zhi, orang yang akan mereka bantu.

 

 

Dengan cepat mereka turun dari kuda, dan menanyakan duduk perkaranya. Lu Zhi menjelaskan,"Aku telah mengepung para pemberontak yang dipimpin Zhang Jiao, tinggal menumpas mereka. Tetapi Zhang Jiao menggunakan kekuatan gaibnya menghalangi kemenanganku. Istana telah mengutus seorang perwira untuk menyelidiki sebab kegagalanku. Tetapi perwira ini malah meminta uang suap. Kukatakan kepadanya bahwa kami kekurangan perbekalan, lagipula dalam keadaan seperti sekarang, darimana pula kami dapat mencarikan hadiah baginya? Perwira itu pergi dengan marah sambil mencaci maki. Dilaporkannya bahwa aku bersembunyi dan tidak mau bertempur, bahkan mengecilkan hati pasukanku. Kemudian diutus Tong Zhuo untuk menggantikan kedudukanku. Dan kini aku harus pergi ke ibukota untuk mempertanggungjawabkan tuduhan ter-

----------

Halaman 13

 

sebut."

Zhang Fei amat murka mendengar kisah ini, dan berniat membunuh para pengawal, untuk membebaskan Lu Zhi. Tetapi Liu Bei mencegahnya.

"Pemerintah akan bertindak sesuai dengan hukum,"katanya. "Kau tidak boleh bertindak gegabah." Mereka melanjutkan perjalanan.

  

 

 

Karena tidak berguna lagi menuju tempat itu, maka Guan Gong mengusulkan agar mereka kembali ke distrik Zhuo. Dua hari kemudian mereka mendengar suara gemuruh peperangan dari belakang bukit.

 

Mereka bergegas ke puncaknya dan melihat serdadu pemerintah sedang menderita kekalahan. Di sekeliling tempat itu penuh dengan pasukan serban kuning. Pada panji-panji mereka tertulis kata-kata "Pangeran Langit".

 

"Itu adalah pasukan Zhang Jiao! Ayo kita membantu pasukan pemerintah!" seru Liu Bei. Mereka menderap kuda, memimpin pasukan menyerbu medan laga.

Zhang Jiao telah berhasil mengelabui Tong Zhuo, dan ketika ia sedang bersiap-siap menghancurkan pasukan pemerintah, tiga bersaudara itu menyerbu ke tengah medan laga. Kaum pemberontak kocar-kacir, terpaksa mundur sejauh 50 li. Ketiganya berhasil menyelamatkan Tong Zhuo kembali ke benteng.

 

"Di bawah perwira manakah kalian?" tanya Tong Zhuo, ketika ia memperoleh kesempatan untuk berbicara dengan tiga bersaudara itu.

 

"Tidak di bawah siapa-siapa," jawab Liu Bei. Tong lalu memandang rendah mereka dan memperlakukan mereka seenaknya. Liu Bei mundur dengan tenang, tetapi Zhang Fei amat gusar.

 

"Kita baru saja menyelamatkan jahanam ini dari pertempuran sengit," teriaknya,"tetapi kini ia begitu tidak menghormati! Takkan puas hatiku sebelum membunuhnya." Ia akan menerobos ke dalam tenda untuk membunuh Tong Zhuo, tetapi Liu Bei dan Guan Gong menghalanginya.

 

 

----------

Bab 2

 

Kisah Tiga Negara

Pilihan Bahasa